Kejadian ini berlangsung beberapa bulan yang lalu, ketika anakku melangsungkan pesta pernikahannya di kota kecil Pr di Jawa Timur yaitu di tempat calon mertuanya bernama Pak Har (60 Thn) dan Bu Har (46 thn) yang masih menjadi kepala desa. Aku dan istriku sebetulnya tidak setuju kalau anakku yang baru saja lulus dari salah satu universitas di Jawa Tengah harus segera kawin dengan pacarnya yang sama-sama baru lulus. Rencanaku biar anakku dapat kerja yang mapan dahulu sebelum kawin, tetapi Pak Har dan Istrinya terus mendesak agar mereka berdua cepat-cepat di kawinkan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan Bu Har sudah ingin menimang cucu, katanya. Tetapi karena anakku setuju dengan permintaan keluarga yang perempuan, ya sebagai orang tua tidak bisa berbuat lain selain merestuinya.
Tiga hari sebelum hari pernikahannya, aku dan istriku sudah berada di kota Pr. dan disambut di rumahnya dengan hangat oleh calon besanku Pak Har dan Bu Har serta keluarganya. Aku dan istriku benar-benar dibuat surprise dan tidak terbayangkan sebelumnya, orang-orang yang ada di rumah itu begitu hormat kepada keluarga Pak Har dan yang lebih mengherankan lagi, rumahnya begitu besar dikelilingi tanaman buah-buahan dan ada pendoponya yang luas serta di salah satu sisinya ada seperangkat Gamelan Jawa. Bagaimana tidak heran, jabatan Pak Har hanyalah kepala desa yang tidak menerima gaji, tetapi hanya menerima tanah bengkok selama dia menjabat.
Yang membuatku lebih terpesona adalah Bu Har calon besanku perempuan, walaupun usianya sudah tidak muda lagi, tetapi dengan tubuh yang semampai tidak terlalu tinggi serta kain kebaya yang dipakainya serasi dengan warna kulitnya yang putih bersih dan kuperhatikan Bu Har terlihat sangat anggun, apalagi sisa-sisa kecantikan diwaktu mudanya masih terlihat, sehingga membuatku terpesona dan tidak ingin melepas memandangnya dan kadang-kadang aku harus mencuri-curi pandang, agar istriku tidak mengetahuinya apabila aku memandangnya soalnya kalau sampai ketahuan, bisa-bisa terjadi perang besar. Bu Har bukannya tidak tahu kalau sering kupandangi dengan penuh kekaguman dan ketika beberapa kali bertemu pandang, kuperhatikan dia selalu tersenyum sehingga terlihat giginya yang putih dan rata.
Hari pertama kedatanganku di kota ini, setelah makan siang bersama calon besanku, Bu Har lalu disuruh suaminya menghantarkan aku dan istriku untuk beristirahat di rumah sebelah.
“Buu…, sana antar calon besan kita untuk istirahat di tempat yang sudah kita siapkan”, kata Pak Har dan sesampainya di rumah sebelah yang masih satu halaman dengan rumah induk, tenyata rumahnyapun cukup besar dan kamar yang disediakan untukku dan istriku pun sangat besar walaupun tidak ada kamar mandi di dalamnya. Setelah menunjukkan tempat-tempat yang dianggap perlu termasuk kamar mandi yang agak jauh di belakang, lalu Bu Har pamit untuk ke rumah sebelah.
“Terima kasih…, Mbaak…, atas semuanya”, kataku sambil menjabat tangannya dan jabatan itu tidak kulepas dengan segera dan Bu Har-pun tetap tidak menarik tangannya dan kembali kulihat senyumannya yang manis, sambil tiba-tiba menarik tangannya setelah mungkin merasa tangannya kujabat terlalu lama dan terus meninggalkanku kembali ke rumah sebelah.
Sore harinya ketika aku dan istriku sedang duduk di teras, kulihat Pak Har dan istrinya muncul dari belakang lalu duduk ngobrol menemani kami berdua dan tidak lama kemudian datang dua wanita dengan membawa pisang goreng serta teh panas. Setelah ngobrol kesana kemari membicarakan acara untuk pernikahan, Bu Har segera pamit ke belakang entah untuk apa, sehingga obrolan dilanjutkan oleh kami bertiga saja.
Karena tadi aku terlalu banyak minum air, terasa aku ingin pipis dan setelah permisi kepada pak Har untuk ke belakang sebentar, lalu aku beranjak ke belakang menuju kamar mandi yang tadi ditunjukkan oleh Bu Har, karena sudah begitu kebelet untuk pipis lalu sambil menurunkan ritsluiting celanaku serta mengeluarkan meriamku, kudorong pintu kamar mandi dengan bahuku dan terus masuk kamar mandi, tetapi alangkah kagetnya ketika di dalam kamar mandi itu kulihat Bu Har sedang berada di kamar mandi serta telanjang bulat seraya menggosok-gosok badan dengan tangannya.
Kulihat Bu Har-pun begitu terkejut ketika mengetahui ada orang masuk ke kamar mandi dan secara reflek Bu Har berteriak kecil, “Maas”, sambil berusaha menutupi badannya dengan kedua tangannya. Setelah pintu kamar mandi kudorong tertutup, kudekati dia sambil kupegang kedua bahunya serta kukatakan dengan suara sedikit berbisik karena takut ada yang mendengar.
“Mbaak…, maa’aaf…, saya tidak tahu kalau…, Mbak lagi mandi”.
“Sudah.. Laah”, sahut Bu Har juga sedikit berbisik, “Sana…, keluar…, nanti ada yang lihat…, lagian mau apa siih…, Maas?”.
“Saya…, kebelet pipis…, Mbaak”, sahutku dan disambutnya dengan kata-kata,..
“Cepaat…, pipisnya…, dan cepat keluar”.
Tanpa komentar lagi aku keluarkan meriamku yang setengah berdiri karena melihat payudara serta vagina Bu Har yang ditumbuhi bulu-bulu yang hitam lebat dan aku terus pipis dengan posisi menyamping dan sambil kulirik, kulihat mata Mbak Har sepertinya sedang tertuju ke arah meriamku.
Setelah selesai menyelesaikan kencingku dan kumasukkan meriamku kembali ke dalam celana, sambil beranjak keluar pintu kamar mandi kusempatkan tangan kananku mencolek payudaranya yang tertutup setengah oleh tangannya sambil kuucapkan.
“Mbaak…, maa’aaf…, yaa”, dan Bu Har secara reflek menampar tanganku seraya berkata setengah berbisik, “Kurang…, ajaar…, awas…, nanti”.
Aku segera kembali ke depan dan kulihat istriku dan Pak Har masih ada sambil ngobrol dan aku kembali duduk seolah olah tidak terjadi apa-apa, tetapi istriku tiba-tiba nyeletuk”, Paak…, pipis saja…, bajunya sampai basah semua”, aku tidak menanggapi kata-kata istriku itu dan kucoba menenangkan diri sambil kuambil minumanku di gelas.
Setelah beberapa saat kami meneruskan obrolan, Bu Har datang dari arah belakang dan sekarang sudah tidak memakai setelan kebaya lagi tetapi memakai rok terusan, walaupun begitu tetap saja membuatku terpesona apalagi bentuk kakinya yang kecil dam putih mulus, setelah dekat dengan kami bertiga serta duduk disalah satu kursi yang kosong, lalu berkata, “Buu…, Paak…”, seraya menengokku dan Istriku bergantian.
“Silakan mandi dulu biar terasa segar sebelum kita makan”, dan setelah itu Bu Har menggeser kursinya sedikit membelakangiku.
Tidak berlama-lama, aku langsung ke kamar mengambil pakaian ganti dan langsung pergi ke kamar mandi. Sengaja kamar mandinya tidak kukunci dengan harapan siapa tahu Bu Har pun berbuat yang sama seperti tadi, tapi…, kupikir mana mungkin.., jadi segera saja kubuang jauh jauh pikiran itu dan sambil mandi kubayangkan tubuh Bu Har yang walau sudah berumur dan payudaranya yang terlihat sedikit karena tertutup tangannya tidak begitu besar kira-kira 36D serta sudah agak turun dan vaginanya yang tertutup tangan satunya juga mempunyai bulu yang lebat tetapi menurutku masih cukup mempersonaku, sehingga meriamku menjadi bangun dan menjadi lebih tegang ketika batangnya kugosok-gosok dengan sabun. Sampai mandiku selesai, ternyata harapanku tinggal harapan saja. Dasar pikiran bejat. Ketika kembali ke depan ternyata kedua calon besanku serta istriku masih asyik ngobrol dan sambil duduk kembali aku langsung menyuruh Istriku untuk gantian mandi.
Malam harinya sewaktu makan berempat di ruang makan, entah kebetulan atau karena Istriku dan Pak Har telah duduk berhadapan terlebih dahulu, sehingga mau tak mau aku dan Bu Har jadi duduk berhadapan. Ketika sedang nikmat-enaknya makan, tiba-tiba kakiku tersentuh kaki Bu Har dan anggapanku mungkin tidak sengaja sewaktu menggeser kakinya, apalagi ketika kulihat wajahnya Bu Har tetap biasa saja seperti tidak terjadi sesuatu dan meneruskan makannya dengan agak menunduk.
Untuk membuktikannya, sambil melepas sendal yang kupakai dan kulirik dimana posisi kaki Bu Har di kolong meja, lalu pelan-pelan kuletakkan kakiku di atas kakinya yang memakai sendal jepit sambil kupandang wajahnya. Kulihat Bu Har tidak bereaksi dan tetap saja meneruskan makannya serta kakinya yang kuinjak itu didiamkannya saja, dan pelan-pelan injakanku itu kuberi tenaga sedikit dan terasa Bu Har secara perlahan-lahan menarik kakinya. Aku diamkan saja kakiku di tempatnya seolah-olah aku menginjaknya secara tidak sengaja, tetapi beberapa saat kemudian terasa kakiku di injak oleh kakinya yang sudah tidak memakai sendalnya lagi, jadi aku mengambil kesimpulan kalau tendangan kaki Bu Har tadi itu pasti disengajanya. Aku diamkan saja injakan kakinya dan tidak lama kemudian telapak kakinya di geser-geserkan di atas kakiku dan tentu saja hal ini tidak kubiarkan, jadi sambil tetap meneruskan makan kaki kami terus bermain dikolong meja makan dan lama-lama jadi bosan juga.
Lalu kutarik kaki kananku yang diijaknya menjauh dari kaki Bu Har dan sambil mengambil gorengan tahu yang agak jauh dari jangkauanku, kugeser kursiku maju kedepan merapat di meja makan dan pelan pelan kuangkat kaki kananku agar tidak ada kecurigaan dari istriku dan Pak Har serta kuselonjorkan ke depan, maksudku untuk kuletakkan di kursi diantara kedua paha Bu Har, eh, tidak tahunya terantuk salah satu dengkul Bu Har dan kulihat Bu Har agak terkejut sehingga garpu yang dipegangnya terjatuh di atas piringnya dan semua mata tertuju ke arah Bu Har dan Pak Har berkomentar, “Buu…, makannya jangan buru buru…, bikin malu calon besan sajaa”, dan kesempatan ini kugunakan untuk menggeser kakiku dan kuletakkan di ujung kursinya sehingga telapak kakiku terasa hangat terjepit di antara kedua pahanya dan secara perlahan-lahan kuelus-elus salah satu pahanya dengan telapak kakiku dan Bu Har kulihat memandangku sejenak dengan matanya sedikit melotot dan kembali meneruskan makannya.
Aku mencoba menjulurkan kakiku lebih dalam lagi agar dapat mencapai pangkal paha Bu Har, tetapi tetap saja kakiku tidak dapat mencapainya, karena kursi yang di duduki Bu Har agak renggang dari meja makan dan aku mencari akal bagaimana kakiku bisa menyentuh vagina Bu Har. Ketika aku sedang memutar otakku, eh tidak tahunya Bu Har menggeser tempat duduknya maju ke depan mendekati meja makan ketika akan mengambil buah-buahan setelah makannya selesai dan kesempatan ini tidak kusia-siakan, dengan hanya mengulurkan kakiku sedikit tersentuhlah pangkal pahanya yang terasa sangat halus dan membuat Bu Har agak terkejut sedikit tetapi setelah itu diam saja.
Lalu kugesek-gesekkan jari kakiku ke vaginanya yang terasa tertutup dengan celana dalamnya dan sesekali kuperhatikan mata Bu Har tertutup agak lama yang mungkin sedang menikmati enaknya gesekan jari kakiku di vaginanya, tapi untung istriku dan Pak Har tidak memperhatikannya karena sedang sibuk dengan buah-buahan yang dimakannya.
Gesekan kakiku terus kulanjutkan sambil ngobrol berempat setelah buah-buahan yang kami makan habis. Ketika Pak Har sedang bertanya sesuatu kepadaku, tanpa sadar sebelum pertanyaannya kujawab, aku berseru, “Aduuh…”, sehingga istriku dan kedua calon besanku melihat ke arahku dan istriku langsung bertanya, “Kenapa…, paah..?” untuk tidak menimbulkan kecurigaan langsung saja kujawab, “Kekenyangan…, dan perutku agak sakit tergencet ikat pinggang”, kataku sekenanya sambil kulonggarkan ikat pinggangku, “Habis.., makanan calon besan kita terlalu nikmat sih”, tambahku sedikit memuji, padahal aku berseru aduh tadi itu karena kaget ketika kakiku tiba-tiba dicubit oleh tangan Bu Har yang tanpa setahuku di taruhnya ke bawah meja. Aku cepat-cepat menarik kakiku dan menurunkannya ketika Pak Har tiba-tiba bangkit dari duduknya dan mengajakku dan istriku kembali ke teras rumahnya.
Esok harinya, aku dan istriku merencanakan pergi ke kota Mlg, yang jaraknya hanya kira-kira 2 jam perjalanan dengan mobil untuk menjemput anakku yang nomer 2 dan yang sedang kuliah di sana agar bisa mengikuti acara pernikahan kakaknya, tetapi entah karena makanku terlalu banyak atau karena tadi malam ngobrolnya sampai larut malam dan hawa kota kecil Pr, yang agak dingin, perutku terasa sakit atau seperti masuk angin sehingga beberapa kali aku harus ke belakang. Sehingga pagi harinya aku minta istriku saja yang menjemput anakku dengan sopir.
Setelah istriku berangkat, tidak lama kemudian Pak Har dan istrinya muncul di kamarku serta menanyakan kondisiku.
“Paak…, kata ibu lagi sakit perut yaa…, ma’af…, mungkin ada makanan yang tidak cocok dengan perut bapak.., yaa”, kata Pak Har dengan penuh rasa khawatir sedang istrinya hanya diam saja di sampingnya.
“ooh…, bukan sakit peruut…, kok…, paak”, sahutku sambil kutinggikan bantalku sehingga posisi tidurku setengah duduk, “cuma…, masuk angin sedikit.., kayaknya.., sebentar lagi juga sembuh”, sahutku seraya kupandangi keduanya bergantian.
“Apa bapak biasa minum obat tolak angin…, biar saya ambilkan.. yaa”, kata Bu Har.
“aahh…, nggak usah lah buu…, tadi sudah dipijitin sedikit oleh istri saya…, biasanya sih dikerokin…, tetapi karena takut ke Mlg-nya kesiangan…, jadi kerokannya nggak jadi”, sahutku.
“Lho…, Paak.., kalau biasa kerokan…, biar istri saya saja yang ngerokin…, dia itu ahlinya…, saya kalau masuk angin paling cepat dikerokin lalu dipijitnya, langsung sembuh”, sahut Pak Har.
“Iyaa…, Buu.., tolong dikerokin saja dan setelah itu baru minum obat tolak angin.., soalnya kalau dibiarkan bisa kasep nanti, apalagi besok adalah acara resmi perkawinannya…, ayoo.. sana buu.., ambil alat kerokannya”, tambah Pak Har dan segera saja Bu Har pergi meninggalkan kamarku.
Tidak lama kemudian Bu Har mencul kembali dan dikedua tangannya telah membawa alat kerokan dan segelas air minum serta obat tolak angin dan sambil meletakkan barang bawaannya di meja, Bu Har mengatakan.
“Paakk…, lebih baik kaosnya dibuka saja”, katanya dan pak Har yang masih menemaniku di kamar terus menimpalinya.
“Betuul…, Paak…, ooh…, iyaa… buu”, kata Pak Har pada istrinya, “Saya tinggal dulu ya sebentar ke kantor KUA untuk menyelesaikan administrasinya buat besok dan mungkin ke beberapa teman yang undangannya belum kita berikan”.
“Jangan…, lama-lama lho.., paak.., masih banyak yang belum beres.., lhoo..”, sahut Bu Har sambil keluar pintu kamarku menghantar suaminya pergi.
Tidak lama kemudian Bu Har muncul kembali sambil menutup pintu kamar, “Lhoo…, maas…, kok kaosnya belum dibukaa…?”, katanya ketika melihatku masih tiduran dan belum membuka kaosku, “… Isiin…, mbaak”, sahutku sambil duduk di pinggir tempat tidur. “Wong wis podo tuwek e kok…, pake isin segala…, wis to.., bukaen kaose…”, kata Bu Har dengan logat jawa timurnya.
Tanpa disuruh kedua kalinya, segera kubuka kaos yang kupakai dan terus duduk membelakanginya sambil menunggu kedatangannya dari menutup pintu kamar. Sesampainya dia di belakangku dan duduk menghadap punggungku tiba-tiba saja Bu Har mencubit pinggangku kuat-kuat sambil berkata, “Maas…, kowe wis tuo…, kok kurang ajar.., tenan.., siih”. Karena cubitannya yang agak kuat dan tanpa kuketahui menjadikanku kaget dan berteriak, “Aduuh…”, sambil kuputar badanku sehingga kami sudah duduk berhadapan dan kuambil barang-barang kecil ditangannya serta kutaruh di atas kasur serta kupegang kedua bahunya seraya kukatakan, “Mbaak…, kowe sing marai aku dadi kurang ajar…, lha…, wong kowe…, sing membuatku jadi kesengsem..”, dan kemudian kupeluk rapat-rapat sehingga terasa payudaranya yang tidak besar itu mengganjal di dadaku serta kucium bibirnya dan Bu Har-pun memelukku serta mengusap-usapkan kedua tangannya di punggungku yang sudah telanjang. Kujulurkan lidahku ke dalam mulutnya dan terasa di sedot-sedotnya dengan keras dan nafas kami berduapun sudah semakin terdengar keras.
Sambil kuangkat badannya sedikit agar bagian roknya yang diduduki terbebas, lalu kuangkat rok terusannya ke atas dan kususupkan tangan kananku ke dalam serta kupegang payudaranya dari luar BHnya dan terasa sekali payudaranya begitu empuk dan diantara ciuman kudengar Bu Har berkata, “sshh…, Maas…, ojo.., nakaal…, too..”, sambil tangan kanannya menggerayangi penisku dari luar celana yang kupakai dan langsung saja kulepas ciumanku dan kuangkat roknya ke atas dan kudengar dari mulutnya hanyalah suara sedikit manja, “Maas…, ojo…, nakaal…,too..”, tetapi tanpa ada penolakan sama sekali, malahan membantuku melepas roknya dengan mengangkat kedua tangannya ke atas dan setelah roknya terlepas, kulihat badan bu Mar yang begitu mulus mengenakan BH hitam yang tipis tanpa ada busa yang mengganjalnya dan CD-nya juga berwarna hitam.
Tanpa basa basi, langsung saja Bu Har kurangkul dan kurobah posisinya serta kutelentangkan di atas tempat tidur dan Bu Har hanya protes, “Maas…, apa-apaan.., siih…, katanya mau di kerokin…, kok jadi beginii..”, dan sambil mencari kaitan BH di belakang tubuhnya, kujawab saja, “Sebenarnya…, Mbaak…, Aku sudah sembuh…, masuk anginnya…, sudah hilang sendiri…”.
Setelah kaitan BH-nya terlepas, langsung saja BH-nya kubuka dan kujilat payudaranya serta kusedot-sedot puting susunya yang hitam dan besar dan kurasakan Bu Har mencoba memasukkan tangan kanannya ke dalam celanaku mencari cari penisku tetapi karena celanaku agak sempit sehingga Bu Har kesulitan memasukkan tangannya dan langsung saja dia berkata, “Maas…, bukain celanamu…, aku yoo…, kepingin…, pegang punyamu”, dan tanpa melepas puting susunya yang masih kusedot, kulepas celana dan celana dalamku sekaligus, sehingga aku sekarang sudah telanjang bulat dan penisku yang setengah berdiri itu langsung saja dipegangnya dan segera saja dia berkomentar, “Maas…, kok masih…, lembek..?”.
“Coba saja di isap…, pasti sebentar saja…, sudah tegang…, mau..?”, tanyaku sambil kupandangi wajahnya dan kulihat Bu Har hanya mengangguk sedikit tanpa jawaban.
Segera saja kulepas isapan mulutku di payudaranya dan bangun serta duduk di dekat kepalanya sambil sedikit kumiringkan badannya kearahku dan dengan tidak sabaran langsung saja batang penisku yang masih setengah berdiri dipegangnya dan kepalanya di jilat-jilatnya sebentar dan langsung dimasukkan ke dalam mulutnya. Sambil memutar badannya setengah tengkurap, Bu Har segera saja memaju-mundurkan kepalanya sehingga penisku keluar masuk terasa nikmat sekali sehingga tanpa terasa aku jadi mendesah “.. Aah…, ooh…, Mbaak…, teruus…, ooh…, enaaknyaa…, Mbaak.. oohh”, sambil kuusap-usap rambut di kepalanya dan sesekali kujambak dan baru sebentar saja Bu Har menghisap penisku, terasa penisku sudah tegang sekali.
Tiba-tiba saja penisku dikeluarkan dari mulutnya dan langsung saja kukatakan, “Mbaak…, isap…, lagii.., doong”, tetapi kudengar Bu Har berkata, “Maas…, tolong…, punyaa.., Saya.., juga”. Aku langsung mengerti apa yang dimaui Bu Har dan langsung saja aku merubah posisi dan kujatuhkan diriku tiduran ke dekat kaki Bu Har dan kutarik celana dalamnya turun serta kulepas dari badannya.
Tiba-tiba saja Bu Har bergerak dan berganti posisi tidur di atas badanku sehingga vaginanya tepat berada di mulutku dan tercium bau vagina yang sangat khas, maka tanpa bersusah payah kusibak bulu blu vaginanya yang menutupi bibir vaginanya dan setelah itu kubuka bibir vaginanya dengan kedua jari tanganku dan kujulurkan lidahku menusuk ke dalam vaginanya yang sudah basah oleh cairannya dan terasa asin. Ketika ujung lidahku menyodok lubang vaginanya, langsung saja Bu Har menekan pantatnya ke wajahku sehingga terasa sulit bernafas dan terasa penisku sedang di kocok-kocoknya dengan jari tangannya.
Ketika lidahku menjelajahi seluruh bagian vaginanya dan bibir vaginanya tetap kupegangi, Bu Har lalu menaik-turunkan pantatnya dengan cepat dan mungkin karena merasa keenakan dijilatin vaginanya, terdengar desahannya yang agak keras, “ooh…, Maas…, oohh…, aahh…, teruus…, uuhh…, Maas…, aduuh…,enaak…, Maas…, ooh…”, dan sesekali clitorisnya yang sedikit menonjol itu dan sudah mulai mengeras, kuhisap-hisap dengan mulutku sehingga desahan demi desahan keluar dari mulutnya, “ooh…, ituu…, Maas…, enaak…, uuh…, ooh…, Maas”, dan tiba-tiba saja pegangan dipenisku dilepaskannya dan Bu Har menjatuhkan dirinya dari atas tubuhku dan tidur telentang sambil memanggilku, “Maas…, Maas…, sinii…, Saya sudah…, nggak tahaan…, ayoo…, sini…, Maas”.
Aku segera saja bangun dan membalik badanku serta kunaiki tubuh Bu Har dan dia ketika tubuhku sudah berada di atasnya, dia membuka kakinya lebar-lebar dan kutempatkan kakiku di antara kedua kakinya. Dengan nafas terengah engah dan mencoba memegang penisku dia berkata, “Maas…, cepat…, doong…, masukin…, Saya sudah…, nggaak tahaan”.
“Tunggu…, sayaang…, biar Aku saja yang masukin sendiri”, kataku sambil kupindahkan ke atas, tangannya yang tadi mencoba memegang penisku tetapi rupanya Bu Har sudah tidak sabaran lalu kembali dia berkata.
“Maas…, ayoo…, doong…, cepetaan…, dimasukiin…, punyamu ituu..”, dan dengan hati-tiba kupegang penisku dan kugesek-gesekkan di belahan bibir vaginanya beberapa kali dan kemudian kutekan ke dalam serta, “blees…” terasa dengan mudahnya penisku masuk ke dalam lubang vaginanya dan seperti terkaget kudengar Bu Har berteriak kecil bersamaan dengan penisku masuk kelubangnya.
“Aduuh…, Maas”, sambil mendekapku erat-erat.
“Sakit…, sayaang…?”, tanyaku dan Bu Har kulihat hanya menggelengkan kepalanya sedikit dan ketika dia menciumi disekitar telingaku kudengar dia malah berbisik, “Enaak…, Maas..”.
Kuciumi wajahnya dan sesekali kuhisap bibirnya sambil kumulai menggerakkan pantatku naik turun pelan-pelan, tetapi tiba-tiba saja punggungku dicengkeramnya agak keras.
“Maas…, coba diamkan dulu pantatmu ituu…”, dan aku tidak mengerti apa maunya tetapi tanpa banyak pertanyaan kuturuti saja permintaannya. Eehh, ternyata Bu Har sedang mempermainkan otot-otot kenikmatannnya, sehingga pelan-pelan terasa penisku seperti di pijat-pijat serta tersedot-sedot dan jepitan serta sedotannya semakin lama semakin kencang sehingga penisku terasa begitu nikmat dan tanpa terasa aku menjadi terlena keenakan.
“oohh…, sshh…, Mbaak…, enaknyaa…, ooh.., aakkrrss.., ooh…, teruus.., Mbaak…, aduuh.., enaak”, dan aku sudah tidak dapat tinggal diam saja, langsung pantatku naik turun sehingga penisku keluar masuk lubang veginanya serta terdengar bunyi, “Crreett…, crreet…, creett..”, secara beraturan sesuai dengan gerakan penisku keluar masuk vaginanya yang sudah sangat basah dan becek.
“Maas…, cabut dulu punyamu itu…, biar aku lap dulu…, punyaku sebentar..”, kata Bu Har setelah mungkin mendengar bunyi itu.
“Biar…, aja…, Mbaak…, nikmat begini…, kook”, sahutku sambil meneruskan gerakan penisku naik turun semakin cepat dan Bu Har kurasa tidak memperhatikan jawabanku karena sewaktu aku menjawab pertanyaannya, kudengar dia sudah mengeluarkan desahannya.
“ooh…, sshh…, aakk…, aduuh…, Maas…, teruuskaan…, teruus…, Maas…, ooh..”, sambil mempercepat goyangan pinggulnya serta kedua tangannya yang dipunggungku selalu menekan-nekan disertai sesekali menyempitkan lubang vaginanya sehingga terasa penisku terjepit-jepit.
“ooh…, Mbaak…, sshh…, oohh…, enaak…, Mbaak…, akuu…, aku sudah…, nggak kuat…, mau…, keluarr.., mbaak..”, desahanku yang sudah tidak kuat lagi menahan keluarnya air maniku.
“Maas…, ayoo…, Maas…, aduuh…, ooh…, Akuu…, jugaa…, ayoo…, sekaraang…, aakkrr…, ooh…, Maas”, dan kulepas air maniku semuanya ke dalam vaginanya sambil kutekan penisku kuat-kuat dan Bu Har pun mendekapku dengan sekuat tenaganya.
Aku terkapar di atas badan Bu Har dengan nafas ngos-ngosan demikian juga kudengar bunyi nafasnya yang sangat cepat seraya menciumi wajahku.
Setelah nafas kami mulai mereda, lalu kukatakan, “Mbaak…, aku cabut ya punyaku..”, dan sebelum aku menghabiskan perkataanku, dicengkeramnya punggungku dengan kedua tangannya seraya mengatakan, “Jangaan…, duluu…, Maas…, Aku masih ingin…, punyamu tetap ada di dalam..”, dan setelah diam sebentar lalu katanya lagi, “Maas………, Aku sudah lama…, nggak begini.., Bapak sudah nggak mau lagi.., padahal aku masih kepingin..”.
Setelah kejadian tersebut, kami masih sesekali melakukannya yaitu ketika Bu Har datang ke Jakarta dengan alasan kangen dengan anak perempuannya yang kawin dengan anakku. Biasanya Bu Har menelponku di kantor apabila akan datang ke Jakarta dan kujemput dia di Gambir dan langsung pergi ke salah satu Hotel, sebelum dia menuju rumah anaknya…, eh.., anakku juga.
TAMAT