Selingkuh Dengan istri Teman


Kejadiannya bermula dari perjumpaan saya dengan seorang teman SMP saya di sebuah toko elektronik, ketika saya sedang membeli VCD Player. Pertemuan di toko itu kemudian dilanjutkan dengan makan malam bersama. Joko, teman saya itu, bekerja sebagai *** (edited) di salah satu perusahaan minyak. Karena ia bekerja di bagian produksi, maka waktunya lebih banyak dihabiskan di anjungan minyak lepas pantai. Dua minggu di anjungan, dan satu minggu kemudian ia bekerja di darat. Begitulah pola jadwal kerjanya. Ia telah 5 tahun menikah tetapi belum juga dikaruniai anak. Nama isterinya adalah Nina, bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta. Pembicaraan di rumah makan tersebut sedemikian mengasyikkan. Kami banyak mengenang berbagai kejadian lucu semasa kami di SMP dahulu. Bagaimana kami berusaha mengintip paha guru-guru wanita, cerita tentang Bibi Kantin, dan sebagainya. Tidak kami sadari, rupanya rumah makan itu akan segera tutup. Kemudian Joko mengajak saya ke rumahnya.


Rumah Joko sudah sepi ketika kami sampai di sana. Menjawab pertanyaan Joko, pembantu wanita yang membukakan pintu mengatakan bahwa isteri Joko telah masuk kamar dari jam sembilan, mungkin sudah tidur katanya. Sambil duduk di ruang tamu menunggu Joko yang masuk ke kamarnya, saya mengamati rumah Joko yang cukup asri ini. Dari foto mereka yang terpajang, saya dapat melihat dan menilai bahwa isterinya cukup menarik dan seksi. Ternyata penilaian saya tersebut tidak salah. Dengan hanya mengenakan daster tanpa lengan dan sedikit terkantuk-kantuk ia menjulurkan tangannya, “Nina” katanya. “Bambang”, jawabku singkat. Kemudian Nina mengatakan ia mohon maaf karena mengantuk sekali dan harus tidur cepat karena ia mendapat jadwal mengajar pagi keesokan harinya.


Tinggallah saya berdua dengan Joko melanjutkan perbincangan kami. Sambil berbincang-bincang, kemudian Joko mencoba VCD yang baru dibelinya. VCD itu sendiri isinya film yang cukup terkenal (judulnya kalau tidak salah “Indecent Proposal”. Kurang lebih film itu berkisah tentang tawaran dari seorang pria untuk memberikan sejumlah besar uang apabila ia diperbolehkan mengencani isteri pria yang satunya tersebut). Sambil menonton Joko bertanya, “Kalau kamu bagaimana Bang?”, tanyanya. Aku menjawab, “Enggak tahu deh.., bingung”. Kemudian aku balik bertanya, “Kalau kamu bagaimana Jok?” Joko mengemukakan bahwa kalau ia menghadapi situasi yang demikian, maka ia akan menerima tawaran itu. Bahkan ia kemudian secara terbuka mengungkapkan kepadaku bahwa terkadang ia suka membayangkan isterinya bersetubuh dengan orang lain. Ia merasa janggal dengan keadaannya yang satu ini. Kemudian kami memperbincangkan berbagai hal lainnya. Menjelang tengah malam, akhirnya saya pamit, walaupun sebenarnya masih banyak yang ingin kami perbincangkan.


Dengan kesibukan masing-masing, selama hampir tiga minggu kami tidak berkomunikasi. Sampai akhirnya di satu hari Kamis, ia menelepon saya di kantor menjelang jam pulang kantor. Joko mengajak saya untuk bertemu di salah satu Cafe di bilangan Kemang. Karena tidak acara, akhirnya saya menyanggupi ajakan tersebut. Rupanya Joko ingin membicarakan suatu hal yang agak pribadi, sehingga ia mengajak saya bertemu di cafe tersebut. Setelah pembicaraan basa-basi, akhirnya ia mengutarakan maksud utama mengapa ia mengajak saya bertemu.


“Begini Mbang”, kata Joko sebagai pembukaan.

“Sebetulnya saya agak sungkan mengemukakan hal yang akan saya utarakan ini, karena sifatnya begitu pribadi”, lanjutnya, “Mudah-mudahan kamu tidak terkejut dan tidak berpikir yang bukan-bukan terhadap saya, setelah semuanya ini saya ungkapkan padamu” sambung Joko lagi.

“Ada apa sih Jok”, tanyaku penasaran.

“Pernah tidak kamu membayangkan isterimu bermesraan dengan orang lain”, tanyanya.

“Pernah”, jawabku singkat dan sejujurnya memang demikian.

“Aku juga”, katanya, “Bahkan, aku sangat terangsang kalau membayangkan isteriku bersetubuh dengan laki-laki lain” lanjutnya.

“Sebenarnya, secara tidak langsung aku pernah mengemukakan hal tersebut ketika kita nonton film di rumahku dulu” lanjutnya lagi, “Bayangan itu, hampir tiap malam singgah di kepalaku. Dan sepertinya aku tidak tahan lagi untuk mewujudkannya”, kata Joko sambil meneguk minumannya. “Karena itulah, aku mengajakmu bertemu. Terus terang Mbang, aku mau minta tolong padamu. Maukah kamu menyetubuhi isteriku? Aku ingin melihat kamu menyetubuhi isteriku”, katanya malu-malu.

Walaupun sebenarnya aku juga sudah menduga-duga kemungkinan akan hal itu, tetapi aku tetap tertegun mendengar ungkapan Joko tersebut.

“Maaf ya Mbang, kalau permintaanku itu kurang nikmat buat kamu”, kata Joko melihat aku diam saja.


“Terus terang Jok, aku kaget dan agak bingung. Walaupun masih ada beberapa pertanyaan di benakku, tapi aku dapat memahami keinginanmu itu. Yang benar-benar membuatku bingung…, kenapa aku yang kamu pilih untuk menyetubuhi isterimu?”, tanyaku.

“Ada beberapa alasan”, jawab Joko. “Pertama, aku sudah cukup mengenal kamu, yang artinya kamu aku nilai tidak akan sembarangan membocorkan rahasia ini kepada orang lain. Kedua, walaupun kita kenal sudah cukup lama, tapi kita kan tidak sering berhubungan. Aku pikir keadaan itu dapat mengurangi resiko timbulnya berbagai masalah yang lebih besar kemungkinannya timbul kalau yang menyetubuhi isteriku adalah orang yang bergaul sehari-hari dengan kami”, lanjut Joko.

“Maksudmu bagaimana Jok, aku agak kurang jelas?”, tanyaku.

“Begini, seumpamanya yang menyetubuhi isteriku itu tetanggaku atau teman kantorku, kan kejadian itu dapat menimbulkan situasi hubungan yang baru di antara kami. Misalnya, jadi salah tingkah dalam berhubungan. Dan jika hal itu terjadi, akan lebih besar pengaruhnya dibandingkan jika dengan kamu. Karena, hampir tiap hari kan aku ketemu mereka.” kata Joko menjelaskan.

“Kalau begitu, ada kemungkinan dong hubungan kita menjadi renggang?”, tanyaku lebih jauh.

“Itu kan cuma permisalan saja”, kata Joko.

“Tapi kan aku harus tetap memperhitungkannya”, kata Joko lagi.

“Pertimbangan lainnya”, tanyaku lagi.

“Terus terang Mbang, biar bagaimana juga kan aku harus pilih-pilih. Aku tidak mau dong orang sembarangan yang menyetubuhi isteriku. Tampang dan kondisi sosial-ekonomi, setidaknya selevel denganku”, kata Joko.

“Kalau orang sembarangan, isteriku juga belum tentu mau”, lanjut Joko lagi.

“Memangnya hal ini sudah kamu bicarakan dengan isterimu?”, tanyaku sambil meneguk Coca Cola yang ada di hadapanku.

Kemudian Joko mengatakan, “Sudah tahunan Mbang aku mengungkapkan keinginanku ini ke Nina. Tapi dia selalu menolaknya. Ide gila katanya. Baru beberapa bulan yang lalu sikapnya agak melunak, karena kayaknya dia mulai takut aku ceraikan karena tidak punya anak. Tapi, sampai saat ini keinginanku itu belum terpenuhi. Kami belum menemukan orang yang benar-benar cocok dengan keinginan kami. Kadang aku yang tidak cocok, kadang dia yang tidak menyenangi orang yang aku usulkan. Ada juga yang alternatif orang yang kami berdua kurang cocok”.

“Memangnya kalau aku, isterimu sudah setuju?”, potongku.

Joko menjawab “Aku sudah pernah membicarakan kamu sebagai alternatif kepada Nina, dan responsnya menurutku lebih baik dibandingkan dengan calon-calon sebelumnya”.

“Apa komentar Nina tentangku”, tanyaku lagi.

“Nina bilang kamu ‘boleh juga’, dan seperti penilaianku, Nina juga menilai kamu cukup dikenal olehku, namun kita tidak terlalu dekat dan tidak terlalu sering berhubungan dengan kami”, jawab Joko. Setelah menanyakan beberapa hal lainnya, kemudian aku mengatakan kepada Joko bahwa aku masih membutuhkan waktu untuk berpikir. Alasan utama yang aku utarakan adalah bahwa aku belum pernah melakukan hal tersebut. Kemudian setelah kami berbincang-bincang tentang berbagai hal lainnya, kami akhirnya pulang ke rumah masing-masing.


Pada malam saat aku berbicara dengan Joko di cafe tersebut, aku sebenarnya sudah ingin memberikan jawaban bersedia. Selain memang mungkin benar bahwa pria memiliki kecenderungan untuk tidak puas dengan satu wanita saja, juga didukung oleh situasi dimana satu bulan terakhir ini isteriku sudah tidak mau diajak bersetubuh karena usia kandungannya yang sudah tua. Faktor kebat-kebit sehubungan dengan hasratku terhadap mertuaku, juga semakin menggelitik kebutuhan seksku. Satu-satunya hal yang menunda persetujuanku adalah kekhawatiran akan resiko dari memenuhi permintaan itu. Pertama, terus terang aku takut affair tersebut akan diketahui orang dan akhirnya sampai ke telinga keluargaku atau keluarga isteriku. Kedua, aku khawatir kalau Joko meminta imbalan sebaliknya. Artinya, ia juga ingin menyetubuhi isteriku. Aku khawatir kalau ia meminta hal ini, aku tidak dapat memenuhinya. Isteriku kemungkinan besar akan menolak ide itu, aku sendiripun masih bertanya-tanya apakah aku mau membiarkan isteriku disetubuhi orang lain. Walaupun aku terkadang memfantasikannya, kan tetap ada beda antara fantasi dengan realita.


Setelah aku timbang-timbang kurang lebih selama seminggu, dan setelah memperoleh konfirmasi dari Joko bahwa ia tidak bermaksud untuk meminta imbalan menyetubuhi isteriku, akhirnya aku memutuskan untuk memenuhi tawaran dari Joko tersebut. Kemudian, melalui telepon aku memberitahu Joko, dan langsung saat itu juga kami membuat janji untuk bertemu di rumah Joko pada hari Jumat malam.


Dengan alasan ingin bertemu dengan teman lama, setelah mandi dan sempat bermasturbasi di kamar mandi, aku pamit pada isteriku dan berangkat ke rumah Joko. Makan malam di rumah Joko berlangsung agak kaku. Hanya Joko saja yang banyak berbicara dan berusaha menghangatkan suasana. Aku hanya mengiyakan atau menjawab singkat pertanyaan-pertanyaan Joko. Sementara itu, Nina lebih banyak menundukkan kepala dan terlihat agak jengah ketika bertemu pandang denganku. Yang ada di kepalaku saat itu, adalah bayangan bahwa sebentar lagi aku akan memesrai wanita ini. Beberapa kali aku sempat mencuri pandang ke arah Nina dengan agak menjelajahi tubuhnya. Khususnya, ketika ia berdiri dan berjalan mengambil buah untuk penutup makan malam itu.


Sehabis makan, ketika Nina membereskan meja makan, Joko dan saya duduk-duduk di ruang keluarga. Beberapa saat kemudian Nina masuk ke ruang keluarga itu, duduk di salah satu sofa tunggal di ruang itu. Ia duduk dengan kedua tangan menyatu dan diselipkan di antara kedua kakinya. Terkesan sangat gugup, canggung dan agak ketakutan. Suasana terasa sangat kaku, walaupun beberapa kali Joko berusaha melucu. Tatapan kami lebih sering ke arah televisi, tapi aku yakin kalau pikiran kami bukan ke acara di televisi tersebut. Suatu saat Joko berdiri dan kemudian menarik tangan Nina untuk bangun dari sofa yang di dudukinya. “Ada apa Mas?” tanya Nina keheranan. Tanpa menjawab, Joko kemudian menuntun Nina ke arahku yang duduk di sofa panjang, lalu mendudukkan Nina di sampingku. “Apa-apaan sih” kata Nina sambil terduduk. Situasinya semakin menjadi tidak enak dan semakin canggung.

“Kayaknya kamu terlalu maksa deh Jok” kataku kepada Joko. Nina diam saja dengan wajah memerah, campuran rasa malu dan canggung.

“Sorry deh, Mungkin lebih baik kalian berdua saja dulu untuk lebih akrab. Aku ke teras depan dulu ya..”, kata Joko sambil berjalan meninggalkan kami.

“Kita batalin saja Nin, kalau kamu memang tidak mau”, kataku kepada Nina sambil mengarahkan pandangan ke televisi lagi.

“Nggak apa-apa kok…, saya memang sudah menyanggupi hal ini pada Mas Joko. Cuma aku bingung saja aku harus bagaimana”, jawab Nina. Kemudian aku memandang wajah Nina, terlihat pipinya memerah kembali.

“Aku juga bingung, belum pengalaman sih”, jawabku sambil memberanikan diri memegang tangan Nina. Ia diam saja, dan membiarkan tangannya kuelus-elus. Detak jantungku maupun jantung Nina, semakin mengeras sejalan dengan kegugupan kami masing-masing.


Kemudian aku menyandarkan lenganku ke bahunya, terasa hangat namun tetap gugup. Kemudian kuusap-usap rambutnya, turun ke leher, ke rambut lagi. Bolak-balik begitu. Suasana terasa lebih rileks, dan kemudian Nina menyandarkan kepalanya ke punggung tangan kiriku yang ada di bahu kirinya. Kemudian tangan kanannya menarik tangan kananku dan meletakkan di telapak tangan kirinya, sambil tangan kanannya mengelus-elus punggung tangan kananku. Saat itu, bagi kami, terasa lebih mudah melakukan gerakan-gerakan dibandingkan dengan berbicara.


Setelah beberapa saat, kemudian aku menarik kedua tanganku, dan duduk menghadap Nina sambil memegang kedua pipinya dengan tanganku. Sesaat kami berpandangan, tetapi kemudian Nina menutup kedua matanya. Secara naluriah kemudian kucium bibir Nina. Untuk sesaat, terasa bibir Nina agak menutup rapat, tapi kemudian lama-lama melemah dan membuka. Kukulum bibirnya dengan lembut. Lalu kujepit bibir bawahnya dengan kedua bibirku, sambil kubelai bibir bawahnya itu dengan lidahku. Kemudian kukulum lagi lidahnya, terasa mulai ada respon dari Nina. Ia mulai aktif membalas ciuman dan kulumanku. Secara refleks, tanganku mulai membelai-belai payudaranya, dan sesekali meremas dengan lembut. Kemudian Nina melenguh, dan melepaskan bibirnya dari bibirku dengan napas terengah-engah. Matanya terbuka dan kemudian bibirnya tersenyum, akupun tersenyum sambil memandangnya. “Aku belum pernah dicium dengan cara tadi dan belum pernah ciuman selama itu”, kata Nina kepadaku. Aku diam saja sambil terus membelai payudara Nina. Dengan gerakan memutar, aku mengelus daerah puting payudaranya. Secara perlahan, aku dapat merasakan bahwa putingnya makin lama makin menonjol. Tanpa berkata-kata, kupeluk erat Nina, dan kemudian kucium lagi.


“Nah begitu dong…”, kata Joko yang tanpa kami sadari sudah berada di dekat kami. Nina dan aku sama-sama terkejut dan agak terlonjak mendengar suara Joko. Tubuh kami pun menjadi agak merenggang.

“Ngaget-ngagetin saja kamu Jok” kataku sambil merasa agak malu dan sedikit terganggu, karena situasi tadi sempat membuaiku.

“Sorry deh.., kita ke kamar saja yuk”, kata Joko. Kemudian kami bertiga masuk ke salah satu kamar. Perkiraanku, kamar ini bukanlah kamar mereka, karena terlihat agak kosong. Boleh jadi kamar ini adalah kamar untuk tamu.


Di kamar Joko langsung duduk di kursi meja rias dan berkata, “Terusin deh yang tadi…, kaya’nya kalian sudah mulai hot”. Namun kecanggungan kembali merajai situasi di ruangan. Boleh jadi, keberadaan Joko menyebabkan kami menjadi canggung. Nina hanya duduk diam di salah satu sisi tempat tidur. Di sisi lainnya aku juga duduk terdiam. Namun kemudian aku berkata, “Rasanya canggung Jok ada kamu di sini”.


Menyadari situasi, kemudian Joko mengatakan bahwa ia akan keluar dulu dari kamar itu, sementara kami mencoba untuk memadu kemesraan. Setelah Joko keluar kamar, baru terasa bahwa situasi menjadi lebih rileks dan menyenangkan. Aku kemudian tersenyum, sambil berjalan ke arah Nina. Nina membalas senyumanku itu sambil merentangkan tangannya dan memelukku ketika aku sampai di hadapannya. Sambil duduk kami terus berpelukan dan berciuman, sambil meraba-raba satu sama lainnya. Secara tidak sadar posisi kami sudah setengah berbaring. Kakiku dan kaki Nina masih terjuntai ke lantai, tapi aku sudah dalam posisi menindih Nina. Kuciumi payudara Nina, ia mulai menggeliat-menggeliat sambil terkadang menarik nafas panjang. Nafasnyapun terdengar semakin berat. Kubuka kancing-kancing baju Nina, dan terlihatlah BH-nya yang berwarna coklat muda. Kusingkapkan BH sebelah kanan agak ke atas dan tersembullah buah dada Nina yang cukup besar itu. Putingnya tidak terlalu besar tetapi sudah cukup menonjol. Tampaknya ia sudah mulai terangsang. Segera kuciumi payudaranya dan kumainkan putingnya dengan bibir dan lidahku, kadang-kadang kusedot puting payudaranya. “Oooohh…”, lenguh Nina, satu saat ketika putingnya kusedot.


Setelah cukup lama bermain-main dengan payudaranya, kemudian ciumanku mulai turun ke arah perutnya. Nina menggeliat kegelian. “Geli Mas” katanya. Seakan-akan sudah janjian, kami kemudian merenggangkan tubuh kami dan sama-sama bangkit duduk, sambil melepas pakaian masing-masing, sehingga tinggal celana dalam kami masing-masing saja yang masih melekat di tubuh kami. Kemudian, kubaringkan Nina, dan kuciumi bagian dalam pahanya, sambil menarik celana dalamnya ke bawah, sampai akhir terlepas. Bulu-bulu di kemaluan Nina cukup lebat, tapi garis kemaluannya masih cukup jelas terlihat.


Kemudian, kubuka celana dalamku sendiri, sehingga akhirnya kami sama-sama telanjang bulat. Kulihat Nina agak tertegun melihat kemaluanku. “Kenapa Nin?”, tanyaku. “Tidak apa-apa”, jawabnya. Kemudian kutindih kembali Nina dan kuciumi leher dan kupingnya. Kembali terdengar lenguhan-lenguhan Nina. Agak berbeda dengan isteriku yang tidak banyak mengeluarkan bunyi kalau kami sedang bermesraan, Nina cukup banyak mengeluarkan bunyi, entah itu lenguhan “Oooohh” atau “eeggghh” atau “heegg”, dan beberapa bunyi lain yang tidak dapat aku ingat. Kemaluanku yang mulai membesar dan mengeras menempel di pahanya. Mungkin tanpa disadari, tangan Nina bergerak-gerak seakan mencari kemaluanku. Kuangkat sedikit pinggulku sehingga tangan Nina dapat menyelinap ke sela-sela badan kami dan akhirnya menyentuh kemaluanku. Dengan lembut kemaluanku digenggamnya dan digeser-geserkan ke selangkangannya. Nikmat rasanya, walaupun hanya bergesekan saja. Setelah cukup tegang, Nina melepaskan genggamannya pada kemaluanku dan kedua tangannya mulai mengusap-usap punggungku sambil terkadang memeluk erat tubuhku yang ada di atas tubuhnya.


Tiba-tiba ada seberkas cahaya tambahan terlihat. Kami sama-sama menoleh ke arah pintu dan melihat Joko berdiri di ambang pintu sedang memandang kami. Joko tertegun dan kemudian menganggukkan kepalanya. Aku tidak tahu apa maksud dari anggukan kepalanya. Hanya aku sempat kesal dan berpikir, “waduh ini orang, selalu tidak sabaran dan menggangu saja”. Berusaha mengabaikan keberadan Joko, kugesekkan terus kemaluanku di selangkangan Nina, yang rasanya mulai membasah. Khawatir “turun” lagi situasi yang sudah panas ini, kupegang kemaluanku dan mencoba mengarahkannya ke lubang keramat Nina. Dengan sedikit dorongan ekstra, akhirnya kemaluanku berhasil menembus lubang kemaluan Nina. Pada dorongan pertama hanya kepalanya saja yang masuk. Terasa hangat dan empuk kemaluan Nina. Ketika kumasukkan, Nina mengeluh, “aduuhh…”. Kutarik dan kemudian kumasukkan lagi kemaluanku, hasilnya lebih dalam dari yang pertama.


Pada genjotan kelima, bersamaan dengan masuknya seluruh batang kemaluanku ke lubang kemaluan Nina, Nina kembali mengeluh, “Aduuhh sakit Mas…”, katanya. Kudiamkan sebentar kemaluanku di dalam kemaluan Nina. Kemudian kadang-kadang kutegangkan kemaluanku yang masih di dalam kemaluan Nina dengan sedikit mengencangkan otot-otot selangkanganku. Secara halus kurasakan kadang-kadang kemaluan Nina berespon, dengan gerakan menyempit kemudian normal dan menyempit lagi. Tatkala kutatap wajah Nina yang tersenyum kecil, aku baru sadar bahwa ia memang sengaja membalas gerakanku menegangkan kemaluanku tersebut dengan gerakan vaginanya. Beberapa lama kami berkomunikasi dengan kemaluanku, tanpa Joko dapat melihatnya. Tetapi kemudian aku tidak tahan lagi. Segera kugenjot lagi pinggulku, kira-kira pada genjotan yang ke sepuluh, aku tidak tahan lagi dan akhirnya memuncratkan air maniku di dalam kemaluan Nina. Entah karena sensasi pengalaman baru, entah karena munculnya Joko, entah karena sudah cukup lama aku tidak bersetubuh, yang menyebabkan aku ejakulasi lebih cepat dari biasanya. Yang jelas aku terbaring di atas tubuh Nina dan mebisikkan ke telinga Nina, “Terima kasih Nin. Punyamu sempit dan nikmat sekali”. Nina diam saja. Setelah beberapa lama dalam posisi itu, kemudian Nina berkata, “Sesak nafasku Mas, badanmu berat”. Aku tahu diri dan kemudian menggeser badanku ke samping dan berbaring tertelentang menikmati pengalaman yang baru kurasakan.


Nina bangkit berdiri dan menutupi tubuhnya dengan bajunya sambil berjalan ke luar.

“Mau ke mana Nin”, tanya Joko ketika Nina lewat di hadapannya.

“Ke kamar mandi”, jawab Nina singkat sambil terus keluar kamar. Menyadari Joko masih berada di pintu kamar itu, aku segera bangkit dan mengenakan pakaianku.

“Kok sebentar?”, tanya Joko.

“Aku sudah lama tidak begituan Jok”, jawabku sambil memakai celana panjangku.

“Aku belum sempat melihat banyak lho”, kata Joko.

“Mau nggak main sekali lagi?”, tanya Joko.

Aku terdiam sesaat dan kemudian menjawab, “Untuk kali ini kayaknya cukup Jok”, kataku, “Kalau pulangnya kemalaman, nanti isteriku bisa curiga” lanjutku lagi.


Kemudian kami keluar kamar meuju ruang keluarga lagi. Di ruang keluarga, aku dan Joko mendiskusikan pengalaman yang baru terjadi. Joko mengatakan bahwa pengalaman itu sangat merangsang dirinya. Aku mengungkapkan secara terbuka bahwa keberadaan Joko sedikit-banyak menghambat situasi panas yang sedang meningkat. Akhirnya, aku mengungkapkan bahwa aku mau pulang. Joko kemudian memanggil Nina, yang ternyata masih berada di kamar mandi yang ada di dalam kamar mereka.

“Lama amat sih…”, kata Joko menyambut Nina yang keluar dari kamar.

“Maaf”, kata Nina singkat.

“Aku pulang ya Nin”, kataku.

“Iya Mas…”, kata Nina tersipu malu. Sambil pulang, terbayang kembali kejadian-kejadian yang baru aku alami. Dan sesampainya di rumah, aku sempat bermasturbasi di kamar mandi, sebelum akhirnya berbaring di samping isteriku yang telah tertidur lelap.


Pada hari Seninnya, Nina meneleponku di kantor. Nina menceritakan bahwa Joko agak marah pada dirinya, karena persetubuhan antara Nina dengan aku hanya berlangsung sebentar saja. Menurut Joko, Nina kurang melayani aku dengan baik. Pendek kata, Joko tidak puas dan ingin mengulangi lagi. Aku bilang pada Nina bahwa aku bersedia lagi, jika Joko meminta lagi padaku. Kemudian secara bergurau Nina berkata, “Kalau aku yang minta bagaimana Mas Bambang..?”.

“Maksudmu?”, tanyaku.

“Iya…, tadi kan Mas Bambang bilang bahwa kalau Mas Bambang bersedia bermesraan lagi denganku kalau Mas Joko meminta lagi pada Mas Bambang. Nah …, maksudku kalau aku yang minta ke Mas Bambang bagaimana?”.

“Siapa yang takut” jawabku. Sudah hilang rupanya kecanggungan Nina kepadaku. Boleh jadi hal tersebut disebabkan karena kami sudah pernah melakukan hubungan intim sebagaimana layaknya suami-istri.


“Emangnya kamu serius Nin, ingin lagi bermesraan denganku”, kataku lirih takut ada yang dengar.

“Serius Mas, aku ingin mencoba tanpa ada Mas Joko. Rasanya, keberadaan dia mengganggu moodku. Waktu itu, kan sebenarnya aku sudah pengin banget, tapi pas Mas Joko masuk, aku jadi agak terhambat deh. Mas Bambang merasakan tidak sih waktu si ‘adek’, aku pijit-pijit pakai kemaluanku?”.

“Terasa kok Nin, aku baru sadar waktu aku menatapmu”, jawabku.

“Waktu itu, sebenarnya aku sudah ingin banget dipuaskan. Tapi sengaja, aku bilang bahwa aku merasa sakit. Soalnya, aku takut Mas Joko cemburu karena aku jadinya juga menginginkan persetubuhan dengan Mas. Padahal kan Mas Bambang bisa merasakan sendiri bahwa saat itu kan aku sudah basah banget di bawah sana”, kata Nina.

“Iya Nin, waktu itu aku agak bingung. Kamu sudah basah, tapi kok masih bilang sakit”, kataku.

“Pada awalnya memang agak sakit sih Mas.., soalnya punyamu lebih besar daripada punyanya Mas Joko. Tapi, habis itu rasanya nikmat sekali. Padat rasanya punyaku dan terasa punyamu menggesek seluruh dinding kemaluanku”, sambung Nina.

“Nah, pas Mas sudah keluar, aku kan buru-buru pergi ke kamar mandi dan agak lama di sana. Waktu itu, di kamar mandi aku menuntaskan apa yang belum Mas tuntaskan”, kata Nina lagi.

“Sorry deh Nin, abis waktu itu rasanya nikmat banget dan aku sudah lama tidak melakukan hubungan intim dengan isteriku”, kataku.


“Mengenai permintaanku tadi bagaimana Mas?”, tanya Nina.

“Bagaimana caranya dong, kita bisa berhubungan tanpa sepengetahuan Joko?”, tanyaku.

“Begini Mas, kebetulan aku minggu depan ditugaskan ke Bandung sendirian. Mas bisa menemui aku di Bandung kalau mau”, kata Nina. Akhirnya kami membuat janji untuk bertemu di Bandung. Setibanya di Bandung, nanti Nina akan menghubungiku via handphone untuk memberitahukan ia menginap di mana dan di kamar berapa.


Minggu depannya, setelah menerima telepon dari Nina, jam 9 malam kutekan bel pintu kamarnya di hotel. Dengan hanya mengenakan daster dan rambut terikat ke atas Nina membuka pintu kamarnya. Bagaikan sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu, kami langsung berpelukan dan berciuman segera setelah pintu kamar ditutup. Kutekan tubuh Nina ke dinding, dan kugerayangi tubuhnya dengan tetap tidak melepaskan ciuman kami. Karena tidak tahan, segera kubopong Nina ke tempat tidur dan kemudian kutindih dia dan terus kumesrai.


“Mas…, Mas…, stop dulu dong…”, pinta Nina tersengal-sengal.

“Kenapa Nin?”, tanyaku.

“Mas ini ahh…, baru datang langsung ganas saja. Minum dulu kek atau lepas sepatu dulu kek”, kata Nina sambil bangkit lalu bersimpuh dihadapanku yang duduk di tempat tidur. Nina kemudian dengan lembut membuka sepatu dan kaus kakiku. Kemudian ia mengambilkan sandal kamar yang disediakan oleh hotel dan memasangkannya ke kakiku. Aku tersentuh dengan perlakuan Nina tersebut. Aku belum pernah diperlakukan demikian oleh isteriku.


“Aku ambilkan minum dulu ya”, kata Nina seraya berjalan ke arah kulkas. Kemudian aku pindah duduk di kursi yang ada di kamar itu. Nina meletakkan jus jeruk di meja sambil mencubit tanganku dengan genit. Kurengkuh tubuh Nina, tapi dia mengelak dan duduk di depan meja rias. Kuteguk minuman yang disediakan Nina, sambil memandangi Nina yang sedang menyisir rambutnya yang berantakan karena serbuanku tadi.


Setelah membuka kran bath tub, kemudian Nina mengikat kembali rambutnya di depan kaca di kamar mandi tersebut. Kupeluk tubuhnya dari belakang. Kuraba-raba kedua payudaranya dari belakang, terkadang kuremas lembut. Sementara tangan kiriku tetap di dadanya, tangan kananku turun merambat hingga di selangkangannya, kuusap-usap daerah kemaluannya, diselingi dengan tekanan-tekanan lembut berputar. Nina mulai mendesah-desah, tubuhnya mulai menggeliat-geliat. Mendapat respon demikian, aku menjadi semakin semangat. Kemudian dengan ganas kucium tengkuknya, kadang-kadang menggeser ke sekitar telinganya. Desahan dan geliatan Nina semakin menjadi-jadi. Aku makin bertambah semangat lagi, dan tanpa kusadari remasan tanganku baik pada payudaranya maupun selangkangannya semakin menggebu-gebu. Aku tidak tahan lagi dan kukatakan pada Nina, “Nin…, aku masukin ya sebelum kita mandi”. Nina mengangguk perlahan.


Dengan cepat kulepaskan baju dan celanaku serta celana dalamku. Habis itu, kusingkap daster Nina ke atas, dan kutarik celana dalamnya ke bawah. Lalu kutempelkan kemaluanku yang dari tempat tidur tadi sudah tegang ke belahan pantatnya, sehingga menyentuh bibir kemaluannya. Dengan gerakan pelan kugesekkan kemaluanku ke selangkangan Nina. Terasa hangat dan lembut. Pada posisi ini, walaupun belum masuk ke vaginanya, aku sudah merasakan jepitan pada kemaluanku. Mungkin itu jepitan pahanya, tetapi mungkin juga jepitan dari bibir kemaluannya. Sementara itu, kedua payudara Nina terus kuremas-remas. Kulirik ke kaca di depan kami, kepala Nina hanya tertunduk saja, aku tidak dapat melihat wajahnya. Sesekali kulihat kepalanya menggeleng ke kiri dan ke kanan. Sesekali terdengar rintihannya, “Massss, shh, shh, aduhh, ahh…”.


Setelah kurasakan kemaluan Nina sudah mulai cukup basah, kupegang kemaluanku dan kuarahkan ke vagina Nina. Secara perlahan saya dorong kemaluan saya memasuki kemaluan Nina. “Aaawww…, asshh”, jerit Nina perlahan ketika kepala kemaluan saya mulai masuk. Kutarik sedikit dan kemudian kutekan lagi sehingga hampir seluruh kemaluanku masuk ke kemaluan Nina. Setelah kudiamkan sebentar, kemudian aku mulai menggerakkan kemaluanku maju mundur ke kemaluan Tina.


Desahan dan erangan Nina semakin sering terdengar. Ketika kepala Nina mendongak ke belakang ke arahku, kulirik kaca di depan kami, terlihat wajah Nina memerah dengan mata terpejam. Suatu pemandangan yang sangat merangsang. Kuteruskan gerakan-gerakanku dan karena nikmatnya, aku tidak tahan lagi dan akhirnya dengan jeritan tertahan kumuntahkan air maniku di dalam kemaluan Nina. Nina menggeliat-geliat resah karena setelah ejakulasi, gerakanku menjadi terhenti.

“Mass.., aku belum nih…, rasanya menggantung…”, kata Nina seakan-akan protes dengan apa yang baru saja terjadi.

“Maaf deh Nin…, nikmat banget sih”, kataku.

“Sini aku bantuin supaya kamu tuntas”, sambungku lagi sambil menarik tubuh Nina ke arah bathtub.


Kemudian kami berdua masuk ke dalam bath tub dalam posisi aku duduk di belakang Nina. Tangan kiriku mulai kembali meraba-raba payudara Nina, sedangkan tangan kananku berputar-putar menggerayangi kemaluannya di dalam air. “Shh oohh.., ahh!”, kembali terdengar bunyi-bunyian dari mulut Nina. Secara perlahan, tubuh kami mulai setengah terbaring, dengan posisi tubuhku bersandar pada ujung bathtub, sedangkan tubuh Nina bersandar di tubuhku. Mulutku juga aktif menciumi leher dan telinga Nina.


Setelah beberapa lama kemudian kurasakan tubuh Nina mulai menegang dan tanganku mulai terjepit agak keras oleh kedua pangkal pahanya. Kuteruskan gerakan-gerakanku, sampai akhirnya kudengar jeritan tertahan, “Mass, ahh…”, disertai dengan jepitan yang sangat keras pada tangan kananku. Aku menduga bahwa Nina sedang mencapai orgasme, dan ternyata memang benar. Secara perlahan-lahan tubuh Nina yang tadinya sangat tegang mulai mengendur dan rileks di pelukanku. “Ma kasih ya Mas”, kata Nina singkat. Sejenak kami terdiam, dan setelah beberapa lama kemudian kami mulai mandi, dengan saling menggosok tubuh kami satu sama lainnya.


Setelah mandi, sambil berbaring berpelukan di tempat tidur, kami membicarakan beberapa hal. Nina banyak bercerita tentang hubungannya dengan Joko. Setelah beberapa lama kemudian kembali kami memadu nafsu kami di ranjang hotel yang sempit itu, sampai akhirnya kami tertidur dalam keadaan telanjang bulat. Keesokan paginya, sebelum aku kembali ke Jakarta, kami sempat berhubungan sekali lagi. Nina mengemukakan bahwa ada satu pengalaman baru yang ia alami selama dua hari kami berhubungan, yakni untuk pertama kalinya ia merasakan nikmatnya kemaluannya diciumi. Menurut Nina, Joko tidak pernah mau menciumi kemaluannya, tapi sering meminta Nina untuk menciumi kemaluan Joko.


Seminggu setelah kejadian di Bandung tersebut, Joko menelepon dan meminta kesediaanku untuk mencoba lagi berhubungan dengan Nina. Seakan belum terjadi apa-apa, aku mensyaratkan kepada Joko agar aku mencoba dulu berhubungan dengan Nina tanpa dia di sekitar kami. Dengan agak berat hati, Joko menyetujui syaratku itu. Belum tahu saja dia bahwa aku dengan Nina sudah cukup akrab, bahkan sejak pulang dari Bandung, hampir tiap hari kami berhubungan melalui telepon.


Pada hari yang telah kami sepakati, Joko pamit ingin jalan-jalan setelah kami selesai makan malam di rumah Joko. Sepeninggal Joko, Nina menghambur ke pelukanku seraya mengungkapkan bahwa ia kangen sekali, sampai-sampai hampir tiap hari ia bermasturbasi sambil mengingat-ingat kejadian di Bandung. Kugendong tubuh Nina ke kamar di mana kami untuk pertama kalinya bersetubuh.


Sesampainya di kamar itu, kubaringkan tubuh Nina di tempat tidur dengan langsung menindih, menciumi dan meraba-raba tubuhnya. Setelah beberapa saat, tiba-tiba meronta-ronta dan kemudian bangkit duduk. Belum hilang rasa terkejut dan bingungku, tiba-tiba lagi kemudian Nina mendorong tubuhku hingga terbaring dan dengan cepat membuka kancing bajuku dan kemudian melepaskan celana panjang dan celana dalamku. Setelah itu ia dengan agresif mulai menciumiku. Mulai bibir, kuping, merembet ke leher dan dada. Bahkan Nina cukup lama menciumi dan mengulum putingku.


Dari dada, ciuman Nina merambat ke perut dan kemudian ke pangkal paha. Berbeda dari perkiraan dan harapanku, dari pangkal paha, ciuman Nina tidak menyentuh kemaluanku. Padahal aku ingin sekali agar kemaluanku dicium atau setidak-tidaknya diraba oleh Nina. Ketika ciuman Nina mulai turun, aku sebenarnya secara tidak sadar sudah menarik kepala Nina agar berada tepat di tengah selangkanganku. Tetapi, tampaknya Nina tidak memenuhi keinginanku itu. Bibir dan lidah Nina terus merembet ke bawah, ke bagian dalam dari paha kananku sampai ke dengkul, termasuk ke bagian belakang dari dengkul. Di bagian belakang dengkul ini, kurasakan lidah Nina menyapu-nyapu. Nikmat dan menggoda rasanya, karena sebelumnya saya belum pernah merasakan hal itu. Saya hanya dapat mendesah dan menahan napas saja.


Dari dengkul kanan, Nina pindah ke dengkul kiri, dengan melakukan hal yang sama. Secara perlahan kemudian merambat ke atas, ke bagian dalam paha kiriku, kemudian ke pangkal paha.

“Nin…, Ayo dong”, pintaku. Nina rupanya memang sengaja ingin menggodaku. Agak berlama-lama ia menciumi pangkal pahaku, dan bahkan kemudian turun lagi ke bawah.

“Nin…, Please..”, pintaku lagi. Nina tidak juga segera memenuhi permintaanku, tetapi ia kemudian mulai menciumi bagian bawah kantung kemaluanku. Lumayanlah.., Batinku dalam hati. Dan akhirnya, Nina mulai menciumi kemaluanku dari samping, baik kiri maupun kanan, tetapi kepala kemaluanku belum dijamahnya.


Akhirnya, dengan sentakan yang cukup keras, kutarik kepala Nina hingga mulutnya menyentuh kepala kemaluanku. Mulailah ia mencium, menghisap dan menyedot kemaluanku hingga pada akhirnya kemaluanku memuncratkan isinya. Aku agak terkejut sekaligus terharu ketika Nina, menampung air maniku di mulutnya, bahkan menelannya. Jangankan menelan, untuk sekedar menciumi kemaluanku saja, isteriku sangat jarang. Hitungannya masih bisa dihitung dengan jumlah jari dalam satu tangan. Jijik dan tidak pantas kata isteriku. Terus terang, aku merasa tersanjung waktu Nina menelan air maniku.


“Tadi kamu ngeledek aku ya Nin..”, kataku.

“Orang sudah pengen banget…, eh malah turun ke dengkul lagi”, lanjutku lagi.

Nina tertawa kecil dan kemudian berkata, “Tapi nikmat kan…”, dengan yakin.

“Enak baanget..”, jawabku.

“Kamu tidak jijik Nin menelan maniku?”, lanjutku bertanya.

“Biasanya sih iya”, kata Nina, “tapi tadi aku tidak sadar dan tidak merasa jijik, malah aku juga ikut menikmatinya sepenuh hati” kata Nina.


Dalam hati aku membenarkan perkataan Nina. Ketika dimesrai Nina tadi, aku merasakan pelayanan dan penyerahan yang total dari Nina, bahkan tidak mempedulikan badanku yang belum mandi, karena tadi aku langsung dari kantor ke tempat ini. Suatu ketotalan yang bahkan rasanya belum pernah aku dapatkan dalam berhubungan dengan isteriku.

“Biasanya aku menolak jika Mas Joko mau mengeluarkan maninya di mulutku, apalagi menelannya”, sambung Nina di tengah lamunanku.

“Ma kasih ya Nin”, kataku sambil mengelus-elus tubuhnya.

“Aku juga Mas”, kata Nina, “Anggap saja itu sebagai imbalan dari pengalaman baru yang Mas berikan di Bandung waktu itu” kata Nina.

“Yang mana Nin?”, tanyaku sambil sekali-kali memberikan kecupan ringan di pipi dan kupingnya.

“Itu lho, yang punyaku Mas ciumin. Itu kan juga sebelumnya aku tidak pernah mengalaminya”, jawab Nina sambil membalas elusanku, dengan mengelus-elus dadaku.


Kecupan-kecupan ringan terus kulakukan di wajah dan kuping Nina. Bahkan aku mulai merembet turun ke leher, dada, perut dan akhirnya kubalas apa yang Nina lakukan padaku. Ketika aku menciumi kemaluannya, Nina membalikkan arah tubuhnya, sehingga kami bisa saling meciumi kemaluan satu sama lainnya. Kadang-kadang Nina berhenti mencium, ia hanya menggerak-gerakkan pinggulnya. Aku mengira ia sedang menikmati rangsangan-rangsangan yang kuberikan. Pada posisi itu, entah berapa kali Nina mengalami orgasme aku tidak tahu persis. Tetapi, aku merasa setidaknya tubuh Nina sempat meregang-regang secara ritmis sebanyak dua kali. Karena kemaluanku sudah tegang, akhirnya kubalikkan tubuhku dan kumasukkan kemaluanku ke kemaluan Nina. Kugerakkan pinggulku turun naik. Sampai akhirnya aku ejakulasi di dalam kemaluan Nina.


Di tengah perbincangan kami setelah permainan yang melelahkan tersebut, Joko datang dan langsung masuk kamar. Ia menanyakan bagaimana keadaan kami. Aku mengatakan bahwa kami sudah berhasil melakukan intim. Kemudian Joko meminta kami untuk bermain lagi. Tetapi, entah kenapa, saat itu kemaluanku tidak lagi dapat berdiri tegak. Setelah dicoba beberapa lam, tetap tidak dapat tegak walaupun terkadang dapat agak membesar. Boleh jadi, hal itu disebabkan karena aku sudah dua kali mencapai kepuasan malam itu. Boleh jadi juga karena keberadaan Joko mengurangi nafsu saya dan Nina. Joko terlihat sedikit kecewa ketika kukenakan pakaianku dan pamit pulang.


Keesokan siangnya Nina meneleponku di kantor. Dengan terisak ia bercerita bahwa ia dan Joko baru saja bertengkar hebat. Tanpa kami sadari, rupanya Joko merekam dengan kamera video apa yang kami lakukan di kamar ketika ia pergi. Melalui hasil rekaman itulah Joko mengetahui apa yang kami lakukan di kamar itu. Joko sangat marah, karena ketika ia tidak ada kami dapat berhubungan sedemikian panas dan binal. Nina menceritakan bahwa Joko juga mengungkit-ungkit beberapa hal yang tidak pernah Nina lakukan padanya. Khususnya karena Nina mau menerima air maniku di mulutnya bahkan menelannya, serta Nina bersedia menciumi kemaluanku setelah kemaluan tersebut masuk ke dalam kemaluan Nina.


Kuberikan beberapa saran praktis untuk Nina saat itu, sambil membuat janji untuk bertemu pada siang hari. Setelah kejadian itu, Joko tidak pernah menghubungiku atau meminta tolong lagi padaku. Tetapi, kadang-kadang aku masih berhubungan intim dengan Nina. Entah itu di hotel, di villa keluarga kami, bahkan pernah juga di rumah Joko ketika ia bertugas ke anjungan minyak.

TAMAT

Share this :

Previous
Next Post »